artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Jumat Sehat dan Pernak-pernik di Dalamnya

Jumat Sehat, atau untuk selanjutnya lebih familiar dengan penyebutan JS-an adalah sebuah sarana mempererat hubungan antar Masisir yang diprakarsai oleh KSW (Kelompok Studi Walisongo), sebuah kekeluargaan yang beranggotakan pelajar dan mahasiswa dari Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Dalam ihwal mempererat hubungan inilah dipilih sebuah olahraga yang paling populer di dunia yakni sepakbola. Sepakbola ditunjuk untuk menjadi kran penyalur serta penyambung karena kesamaan hobi yang terlampau digemari selaras dengan suasana kala itu.

Menurut sebuah sumber terpercaya yang tidak ingin disebutkan namanya, dahulu pada periode 2008-2009 terbentuklah gerakan awal aplikasi kesehatan berbasis sepakbola ini. Bisa dikatakan kegiatan ini sejenis atau semacam Ludrukan, sepakbola untuk bersenang-senang. Baru selang setahun sesudahnya, tepatnya pada tahun 2009-2010, barulah mencuat nama Jumat Sehat (JS) di bawah komando Mbah Yatno. Mula-mula aktivitas menyepak bola pada Jumat pagi ini berkedudukan di Stadion Mubaraq, Hay Sadis. Lama-lama karena harus izin kepada yang berwenang maka kegiatan tersebut dipindahkandangkan ke Gelora Suuq Sayyarot, Hay Ashir, sampai sekarang.

Sepakbola bukanlah ruang netral ideologi atau malahan kosong darinya. Melainkan tempat saling baur-membaur antar ideologi. Berbagai macam ideologi berserakan, berpencar dari luar lapangan sampai ke dalamnya. Timbul dan tampak sejak dari cara bermain, taktik, gaya selebrasi setelah mencetak gol, atau manajemen tim dan lain-lain. Agaknya menarik untuk menyelidiki lebih jauh, menafsir dan mengulas setidaknya dua ideologi yang termuat pada Jumat Sehat.

Sudah disebut di atas bahwasannya kegiatan ini sebangsa dengan Ludrukan. Atau dalam konteks internasional segendang-sepenarian dalam wadah gerakan Against Modern Football. Misi dari gerakan tersebut adalah menolak dan memboikot produk-produk sepakbola hari ini. Ide yang cukup radikal dimunculkan dari gerakan Against Modern Football adalah bermain bola secara non-kompetitif.

Seperti yang ditulis oleh Edward S. Kennedy dalam bukunya Sepakbola Seribu Tafsir, yakni teknis bermain bola yang dilakukan secara tradisional. Maksudnya, silahkan ajak sebanyak mungkin orang untuk bermain dengan cara “open-ended pick-up games” atau untuk bersenang-senang. Siapa saja dapat ikut bermain sampai mereka merasa bosan. Untuk mengurangi “loyalitas” berlebih kepada salah satu tim, setiap pemain dipersilahkan untuk bermain di tim lawan. Singkat kata : ciptakan sepakbola murni sebagai sebuah permainan, bukan persaingan. Kesenangan, bukan kebencian.

Jika ditilik lebih lanjut, teknis bermain yang seperti ini tidak mungkin tidak dialasdasari oleh sebuah-dua buah ideologi. Kalau boleh penulis menyodorkan maka ideologi anarkisme-lah yang mewujud dalam kegiatan JS-an tersebut. Anarkis dalam pemahaman umum, misalnya bila ditampilkan di media massa sehari-hari entah televisi entah media sosial, berubah sampul menjadi bersifat destruktif. Ia selalu  dikaitkan dengan kekacauan, kerusakan, penghancuran. Terpaut dengan term sumbu keonaran dan bara huru-hara. Ini sungguh menggelikan, sama menggelikannya dengan wajah lalu lintas Mesir yang semrawut. Tapi tidak cukup menggelikan ketimbang rumah sekretariat yang kebobolan dua kali karena kealpaan dan kepolosan penghuninya. Padahal makna aslinya bukan seperti itu. Anarkisme seharusnya adalah membangun sesuatu/bergerak bersama secara kooperatif, tanpa pimpinan terpusat, ketika semua partisipasinya setara. Hampir sebelas-duabelas dengan apa yang digagas oleh para pemikir anarkis seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikhael Bakunin, Peter Kropotkin dll. Hal ini menjadi terang karena di dalam JS-an semua pemain dalam satu tim bahu-membahu untuk menahan serangan lawan dari kebobolan dan berusaha untuk mencetak angka. Tidak ada sosok pelatih yang mengomando dari tepi lapangan. Tidak pula tersedia ban kapten yang melingkar pada lengan salah satu pemain di dalam lapangan.

Ideologi lain yang menunggangi hajatan ini adalah postmodernisme. Sebuah wacana tanding dari konstruksi ideologi modernisme. Yang di dalamnya menggaungkan hal-hal bertolak belakang dengan kekinian/kiwari. Seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrillard, posmodernisme adalah sebuah gerakan atau impuls yang besar, dengan kekuatan positif, efektif, dan atraktif untuk mengisi kehidupan melalui penjelasan yang sangat terbatas atau  sama sekali tidak ada penjelasan. Apa yang dikatakan Baudrillard senapas dengan penuturan Al Gore. Menurutnya, postmodernisme adalah “it’s the combination of narcissism and nihilism”. Pada hakikatnya, postmodernisme merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme.

Modernisme mengedepankan sejumlah konsep, di antaranya: terpusat, pembagian peran yang jelas dan rasional. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan postmodernisme yang mengusulkan tidak terpusat, tidak ada pembagian peran yang jelas, dan irasional.

Dari tiga poin yang bisa menjadi representasi dari ideologi postmodernisme, penulis akan menafsiri pada poin yang kedua dan ketiga. Pembacaan konsep tidak ada pembagian peran yang jelas dalam kegiatan JS-an bisa dilihat pada pola permainan sebuah tim. Artinya di sini bahwa menolak batasan-batasan peran sehingga menjadikannya kabur. Tidak ada peran yang baku dalam diri para pemain tersebut. Semua pemain boleh menjadikan dirinya seorang yang bertahan, entah menjadi bus transjakarta (penjaga gawang), hansip dan satpol pp (bek). Atau menjadi pemain depan murni (bertugas hanya mencetak gol dan beroperasi di depan gawang lawan saja). Tapi mustahil peran itu dilakukan secara rutin sewaktu Js-an dilaksanakan. Bukan tidak mungkin para pemain berganti-ganti posisi dari menit ke menit. Misalnya, pada menit–menit pertama dia bermain di tengah sebagai dirigen lambat laun karena hiruk-pikuk aktivitas di situ atau fisik yang tidak fit dia bergeser bermain di flank. Bisa saja pada menit-menit terakhir dia berposisi sebagai pengawal gawang, berdiri paling terakhir pada lapangan sendiri menghalau serangan dari tikaman penyerang lawan. Semua pemain, dari posisi manapun boleh saja bertahan demikian pula berperan dalam proses terjadinya gol.

Konsep selanjutnya yang dibedah postmodernisme adalah irasionalitas. Pembacaan penulis dalam konsep irasional dapat ditonton melalui gaya pakaian dan tatanan rambut. Tidak seperti lazimnya permainan bola yang telah menyepakati syarat dan ketentuan yang berlaku, JS-an menghalalkan segala hak dalam berpenampilan. Tanpa harus meminta persetujuan dari sekitarnya atau bahkan lisensi dari yang berwenang. Seseorang bebas menggunakan celana panjang, jaket kulit, atau jersey orisinal sekalipun. Seseorang boleh memakai sepatu pul, sepatu bot atau bahkan sendal jepit. Sedangkan tatanan rambut yang merujuk postmodernisme hanya seorang saja yang layak mewakili konsep ini. Tatanan yang jauh dari jagat mode rambut konvensional dan terlihat artistik. Terkesan jelek, norak atau kitsch bukan menjadi soal di sini. Bisa dikatakan Moh. Faqih Dlofir berhasil membawa rambut gimbal-nya masuk dalam jajaran ini. Walau sekarang tidak tercatat aktif ikut berlaga dalam JS-an, akan tetapi sekali-dua kali mahasiswa ini pernah terjun di lapangan beraspal. Model rambut yang dicangkok dari idolanya sedemikian rupa, sehingga sejajar dengan pemain-pemain pentas dunia macam Bacary Sagna, Taribo West, Edgar Davids dan Gervinho. Menjadi kesegaran tersendiri ketika semuanya hampir seragam dan monoton untuk berpenampilan dalam kalangan Masisir.

Di bawah pengaruh tamr dan ashob, di dasar kerat-kerat ashob ala shobiyah ibadah JS-an diakhiri. Sembari melihat pemandangan sekeliling. Sambil mengobrol masalah sehari-hari atau yang sedang hit di akhir pekan, seperti langkanya tumbuhan taoge di Zimbabwe. Berkisah tentang fenomena yang tertangkap kamera, dipotret dan lantas dipertontonkan orang-orang dalam sebuah kandang bernama Instagram. Ngalor-ngidul merisak seseorang dengan berbagai  gaya sarkas atau mengolok-olok pelayan penjual ashir. Menyinyir tentang peristiwa yang mutakhir. Menyindir orang-orang pandir. Lantas tertawa, bahagia hingga akhirnya lupa membayar semua pesananya. Apalagi tidak sadar belum membawa pulang gawang beserta bola.
Ya Basta!

Ayatullah El Haqqi
Pemuda ini lahir di daerah penghasil tembakau, tetapi tidak suka merokok. Kali pertama datang ke Mesir diajak ludrukan dan dibaiat dengan nama “Supri” di lapangan futsal. Kata teman-teman ia sangat pendiam. Hafal Pancasila dan tepuk pramuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar