artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Menyoal Fikih Revolusi Bersama Kang Thoriq

Kyai Sani (kanan) dan Kang Thoriq (kiri)
Kairo - Selasa (23/2) setelah kegiatan termin dua dibuka dengan main futsal pada hari Senin (8/2) baca FUTSAL, BIKIN MISYKATIAN SEMAKIN ERATMisykati kembali menggelar “Kajian Selasanan (Kafe Ilmiah)” perdananya di tahun 2016. Dalam kajian ini, tugas pembicara diamanatkan kepada Kang Thoriq Aziz dan tugas moderator diamanatkan kepada Kyai Sani Muhammad Haidar.

Ketika dimulai, kajian ini baru dihadiri oleh beberapa anggota. Kaum hawa yang hadir bisa dihitung dengan jari tangan kanan dan kaum adam pun hanya beberapa saja dengan mayoritas penghuni sekretariat. Tetapi, setelah kajian berjalan, Misykatian mulai datang satu per satu hingga memadati sekretariat. Apalagi setelah kedatangan mamah-mamah muda, suasana kajian pun terasa semakin bergelora.

Dengan gaya bahasa Kang Thoriq yang kebarat-baratan, beliau memaparkan kegelisahannya akan asumsi mahasiswa saat ini yang menganggap bahwa fikih adalah salah satu bidang keilmuan yang pembahasannya sebatas kegiatan ibadah dan muamalah saja. Dari berbagai macam ranah fikih yang dibahas, ada satu ranah yang jarang disadari oleh para ilmuan dan pemikir Islam. Yaitu ranah pemerintahan. Bahkan mereka tidak tahu bahwa ranah ini juga masuk dalam pembahasan fikih.

Berangkat dari masalah ini, Kang Thoriq menemukan celah untuk menjadikan ranah pemerintahan sebagai pembahasan dalam kajian. Lalu diangkatlah tema “Fikih Revolusi”. Tetapi sebelum masuk kepada pembahasan yang lebih mendalam tentang fikih revolusi, beliau menjelaskan definisi fikih dan revolusi terlebih dahulu.

Beliau menjelaskan bahwa fikih secara bahasa berarti pemahaman. Sedangkan secara terminologi, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang disandarkan pada dalil-dalil yang jelas. Lalu dilanjutkan dengan definisi revolusi sebagaimana disebutkan dalam KBBI yang berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan. Terdapat juga istilah-istilah revolusi dalam kerangka berpikir pemikiran turast Islam maupun wawasan bangsa arab, diantaranya adalah al-Fitnah yang berarti perkataan bohong dan tanpa dasar kebenaran dengan maksud menjelekkan orang lain, lalu al-Malhamah yang berarti perpaduan antara perselisihan dan pertikaian yang berujung pada pembunuhan, dan yang terakhir adalah al-Khuruuj yang berarti keluar dan menyimpang dari ketaatan.
Setelah pembahasan tentang definisi fikih dan revolusi, beliau mulai masuk ke pembahasan yang lebih mendalam. Beliau menjelaskan bahwa revolusi adalah sah dalam kacamata turast Islam ketika tidak menyulut atau mengundang kemungkaran yang lebih besar, karena sejatinya mengubah kemungkaran adalah sebuah kewajiban yang sudah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Beliau juga mengutip perkataan Muhammad Imarah, pemikir Islam dari Mesir, yang menjelaskan bahwa revolusi bukan dengan jalan kekerasan sebagai alat perbaikan secara bertahap, tetapi revolusi secara istilah adalah perubahan yang sifatnya hanya di permukaan saja, bukan yang fundamental, bukan pula yang parsial, dan tidak integral.

Selain menjelaskan bahwa Fikih juga menyentuh ranah pemerintahan, Kang Thoriq juga menyebutkan contoh buku tentang bidang keilmuan Islam lain yang menyentuh ranah-ranah yang jarang diketahui oleh banyak pemikir dan ilmuan Muslim. Semisal buku Fikih Sosial karya Kyai Ahmad Sahal, dan Tauhid Sosial karya Amin Rais.

Pembahasan tidak berhenti di situ. Dalam forum ini beliau juga menyinggung tentang asumsi kebanyakan muslim yang menganggap bahwa al-Qur’an adalah buku hukum. Padahal fungsi al-Qur’an sebenarnya bukan buku hukum, tetapi sumber hukum.

Jika orang-orang menganggap Al Qur’an adalah buku hukum, mereka berada dalam kemalangan yang sangat malang.” Ungkap kang Thoriq.

“Jika orang-orang menganggap Al Qur’an adalah buku hukum, mereka berada dalam kemalangan yang sangat malang.” Ungkap kang Thoriq.

Setelah pemaparan makalah selama sekitar 25 menit, kyai Sani sebagai moderator membuka sesi tanya jawab dan tanggapan. Kritikan pertama datang dari bung Dlofir a.k.a Cah Gagah, sastrawan Misykati (semoga menjadi sastrawan sekelas mbah Pram dan Saut Situmorang) yang mengomentari tentang gaya penulisan kang Thoriq. Kritikan ini timbul dari gaya tulisan dalam makalah yang mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Menurutnya, jika suatu kata asing mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, maka sepantasnya memakai bahasa Indonesia saja. Karena pemakaian bahasa asing dalam penulisan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya akan merusak tatanan bahasa Indonesia.

Kritikan yang sama pun mulai memadati sesi tanya jawab sore itu. Dan kajian mulai terasa tegang karena ini, apalagi ditambah dengan kegalauan sang moderator karena sampai saat ini belum menemukan pendamping hidup yang tepat. Berbeda halnya dengan Kang Thoriq yang merasa senang karena banyak dari arek-arek Misykati yang mengomentari dan mengkritik gaya tulisannya. Rasa senang beliau timbul dari kekritisan para Misykatian yang dapat membaca secara sadar, sehingga mampu menemukan kesalahan penulisan dan cacat logika pada tulisannya.

Kang Thoriq pun menjawab kritikan Cah Gagah bahwa gaya bahasa ini adalah gaya bahasanya yang khas. Beliau juga melihat dari skripsi mahasiswa sekarang yang juga sering memakai gaya penulisan ini. Bahkan, ungkap kang Thoriq, gaya penulisan ini adalah salah satu dari sekian banyak jalan menuju pemahaman global untuk memahami hal-hal yang terjadi di dunia, terutama dunia bagian barat.


Kajian mengalir selama kurang lebih dua jam, sang moderator menutup kajian dengan kafarotul majlis. Dilanjut aba-aba Mas Supri yang berperan menjadi bartender kajian sebagai isyarat bahwa acara makan malam telah tiba. Seusai makan malam, acara diteruskan dengan nonton bola bersama antara Barcelona dan Arsenal.
Muhammad Firdaus

Pustakawan, pembuat puisi bayaran, pemulung pemean, pedagang unggas, pelawak antiklimaks, pengosek WC, model rokok seram. Pernah menggelandang di ibu kota selama beberapa bulan. Punya semua media sosial kecuali Snapchat. Musik indie sebagai identitas diri. Semarang adalah kelambu jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar