Euforia Ramadhan di Mesir
Mesir,
negeri yang sangat masyhur akan kekayaan peradabannya ini, selalu mempunyai
cerita tersendiri di setiap momen yang dilewatinya. Mulai dari peradaban Mesir
kuno sampai peradaban di setiap lintas dinasti Islam masih bisa kita cium
hiruk-pikuknya sampai detik sekarang. Sayang seribu sayang, jika kita tidak mau
memperhatikan maupun mempelajarinya. Karena, salah satu metode belajar
mengetahui jati diri sesuatu adalah mempelajari sejarah dari sesuatu tersebut.
Tidak sedikit peradaban di Mesir telah memberi warna yang mampu memberi kesan
kepada siapa saja yang mengunjunginya. Mengunjungi di sini bisa diartikan hanya
sekadar datang, melihat, berselfie dan pulang. Tapi tidak hanya orang
berkunjung saja yang dapat menikmatinya, melainkan orang yang belajar dan
tinggal di Negeri Kinanah malah bisa lebih meng-explore peradaban di
Mesir. Siapa lagi kalau bukan mahasiswa, pelajar, ataupun santri Al-Azhar. Bagian
kecilnya yaitu kita sendiri. Berbagai momen religius di Mesir terbentuk dari dialektika
masyarakat terdahulu yang mampu membentuk peradaban yang sampai sekarang masih
hidup di sekitar kita. Bersyukurlah kita yang bisa merasakan momen-momen yang
tidak biasa kita jumpai di Indonesia. Terlebih momen Ramadhan seperti saat ini.
Untuk
Ramadhan beberapa tahun ini kebetulan jatuh saat musim panas. Sebagaimana jamak
kita ketahui bersama perhitungan waktu Hijriyah lebih cepat dari waktu Syamsiyah.
Sehingga hal ini memberikan siklus yang selalu berputar dalam setiap tahun.
Terkadang di waktu tertentu juga Ramadhan jatuh saat musim dingin, kadang musim
semi maupun musim gugur. Saat musim panas seperti saat ini memberikan euforia lagaknya
musim panas di luar Ramadhan. Siang hari yang lebih panjang dari malam, mau tak
mau kita harus berpuasa selama 16 jam. Jangan tercengang dulu, karena selain
menahan lapar dan hawa nafsu selama itu, kita juga harus mampu melawan derajat
panas di Mesir yang mencapai 30-43 derajat Celsius. Namun efek siang yang
panjang juga memberikan kesempatan kita untuk lebih banyak beribadah di malam
hari, daripada tidur dan tertidur sampai lebih jam 3 pagi. Karena jika tertidur
sampai demikian, nantinya kita tidak dapat sunnah-nya sahur. Jadi mana
yang kalian pilih?
Memang,
euforia beribadah di malam hari saat musim panas selalu kita dapati di setiap
sudut masjid di Negeri Seribu Menara ini. Waktu berbuka yang lumayan molor dari
musim panas di Indonesia, pukul tujuh sore Mesir berbuka, dua jam lebih lama
dari Indonesia. Kemudian sholat isya dan sholat tarawih yang sampai jam dua
belas malam, memberikan kesan sedikit religius bagi yang merasa. Tak pelak jika
jam dua belas malam sampai jam satu pagi, kita dapati di mana-mana anak kecil
bermain petak umpet, sepak bola, dll. Setelah itu giliran sedikit remaja
yang dengan sengaja menabuh gendang dan alat musik untuk membangunkan orang
yang—mungkin—tidur. Dikatakan sedikit, karena tidak di setiap penjuru di Kairo,
maupun Mesir umumnya kita jumpai remaja yang melakukannya. Sementara orang
dewasa serta orang tua lebih memilih untuk ber-iktikaf maupun sholat tasbih di
masjid sampai shubuh. Bahkan di beberapa masjid setelah sholat tarawih masih
ada ngaji kitab sampai pagi.
Selain
itu, ada beberapa momen saat Ramadhan yang sulit dilupakan. Hampir setiap hari
ada beberapa para muhsinin di Mesir yang dengan ikhlas memberikan musaadah
berupa uang yang tidak sedikit jumlahnya, mulai dari dua puluh, lima puluh,
sampai dua ratus pounds Mesir. Belum lagi jatah berbuka gratis atau maidah
ar-rahman yang setiap hari kita temui di masjid-masjid sampai di jalanan.
Sebuah berkah yang selalu menyelimuti setiap hari. Saat sahurpun
restoran-restoran selalu ramai oleh para pengemudi mobil sampai membuat jalanan
macet hanya untuk sekadar membeli bekal sahur. Apalagi ketika memasuki sepuluh
hari terakhir Ramadhan, Mesir dan masyarakatnya terlihat sangat lebih religius.
Beruntung bagi kita yang bisa merasakan sensasi Ramadhan di Mesir layaknya
warga Mesir sendiri.
Namun,
selain euforia di atas, yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga momen
di bulan penuh berkah ini. Jangan sampai kita terlena oleh euforia yang
cenderung lebih mengarah ke hawa nafsu. Sehingga membuat kita malas beribadah. Seharusnya
kita bisa memanfaatkan euforia ini sebagai jalan untuk meningkatkan nilai
kualitas ibadah kita. Sebagai contoh, berpuasa enam belas jam tentunya harus
memberikan efek kesabaran yang lebih daripada puasa empat belas jam seperti di
Indonesia. Menjaga momen baik bagi diri sendiri sangatlah penting, mengingat
musuh terberat adalah hawa nafsu kita sendiri. Semoga momen Ramadhan di manapun
kita berada, kita bisa menjaga kualitas ibadah. Syukur-syukur jika kita bisa
meningkatkan kualitas ibadah dari hari ke hari. Akhir kata, semoga tulisan
sederhana ini bermanfaat. Ramadhan kariem Allahu Akrom. (Mahfud)
Labels
Kemisykatian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar