artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Euforia Ramadhan di Mesir

Mesir, negeri yang sangat masyhur akan kekayaan peradabannya ini, selalu mempunyai cerita tersendiri di setiap momen yang dilewatinya. Mulai dari peradaban Mesir kuno sampai peradaban di setiap lintas dinasti Islam masih bisa kita cium hiruk-pikuknya sampai detik sekarang. Sayang seribu sayang, jika kita tidak mau memperhatikan maupun mempelajarinya. Karena, salah satu metode belajar mengetahui jati diri sesuatu adalah mempelajari sejarah dari sesuatu tersebut. Tidak sedikit peradaban di Mesir telah memberi warna yang mampu memberi kesan kepada siapa saja yang mengunjunginya. Mengunjungi di sini bisa diartikan hanya sekadar datang, melihat, berselfie dan pulang. Tapi tidak hanya orang berkunjung saja yang dapat menikmatinya, melainkan orang yang belajar dan tinggal di Negeri Kinanah malah bisa lebih meng-explore peradaban di Mesir. Siapa lagi kalau bukan mahasiswa, pelajar, ataupun santri Al-Azhar. Bagian kecilnya yaitu kita sendiri. Berbagai momen religius di Mesir terbentuk dari dialektika masyarakat terdahulu yang mampu membentuk peradaban yang sampai sekarang masih hidup di sekitar kita. Bersyukurlah kita yang bisa merasakan momen-momen yang tidak biasa kita jumpai di Indonesia. Terlebih momen Ramadhan seperti saat ini.

Untuk Ramadhan beberapa tahun ini kebetulan jatuh saat musim panas. Sebagaimana jamak kita ketahui bersama perhitungan waktu Hijriyah lebih cepat dari waktu Syamsiyah. Sehingga hal ini memberikan siklus yang selalu berputar dalam setiap tahun. Terkadang di waktu tertentu juga Ramadhan jatuh saat musim dingin, kadang musim semi maupun musim gugur. Saat musim panas seperti saat ini memberikan euforia lagaknya musim panas di luar Ramadhan. Siang hari yang lebih panjang dari malam, mau tak mau kita harus berpuasa selama 16 jam. Jangan tercengang dulu, karena selain menahan lapar dan hawa nafsu selama itu, kita juga harus mampu melawan derajat panas di Mesir yang mencapai 30-43 derajat Celsius. Namun efek siang yang panjang juga memberikan kesempatan kita untuk lebih banyak beribadah di malam hari, daripada tidur dan tertidur sampai lebih jam 3 pagi. Karena jika tertidur sampai demikian, nantinya kita tidak dapat sunnah-nya sahur. Jadi mana yang kalian pilih?

Memang, euforia beribadah di malam hari saat musim panas selalu kita dapati di setiap sudut masjid di Negeri Seribu Menara ini. Waktu berbuka yang lumayan molor dari musim panas di Indonesia, pukul tujuh sore Mesir berbuka, dua jam lebih lama dari Indonesia. Kemudian sholat isya dan sholat tarawih yang sampai jam dua belas malam, memberikan kesan sedikit religius bagi yang merasa. Tak pelak jika jam dua belas malam sampai jam satu pagi, kita dapati di mana-mana anak kecil bermain petak umpet, sepak bola, dll. Setelah itu giliran sedikit remaja yang dengan sengaja menabuh gendang dan alat musik untuk membangunkan orang yang—mungkin—tidur. Dikatakan sedikit, karena tidak di setiap penjuru di Kairo, maupun Mesir umumnya kita jumpai remaja yang melakukannya. Sementara orang dewasa serta orang tua lebih memilih untuk ber-iktikaf maupun sholat tasbih di masjid sampai shubuh. Bahkan di beberapa masjid setelah sholat tarawih masih ada ngaji kitab sampai pagi.

Selain itu, ada beberapa momen saat Ramadhan yang sulit dilupakan. Hampir setiap hari ada beberapa para muhsinin di Mesir yang dengan ikhlas memberikan musaadah berupa uang yang tidak sedikit jumlahnya, mulai dari dua puluh, lima puluh, sampai dua ratus pounds Mesir. Belum lagi jatah berbuka gratis atau maidah ar-rahman yang setiap hari kita temui di masjid-masjid sampai di jalanan. Sebuah berkah yang selalu menyelimuti setiap hari. Saat sahurpun restoran-restoran selalu ramai oleh para pengemudi mobil sampai membuat jalanan macet hanya untuk sekadar membeli bekal sahur. Apalagi ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, Mesir dan masyarakatnya terlihat sangat lebih religius. Beruntung bagi kita yang bisa merasakan sensasi Ramadhan di Mesir layaknya warga Mesir sendiri.

Namun, selain euforia di atas, yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga momen di bulan penuh berkah ini. Jangan sampai kita terlena oleh euforia yang cenderung lebih mengarah ke hawa nafsu. Sehingga membuat kita malas beribadah. Seharusnya kita bisa memanfaatkan euforia ini sebagai jalan untuk meningkatkan nilai kualitas ibadah kita. Sebagai contoh, berpuasa enam belas jam tentunya harus memberikan efek kesabaran yang lebih daripada puasa empat belas jam seperti di Indonesia. Menjaga momen baik bagi diri sendiri sangatlah penting, mengingat musuh terberat adalah hawa nafsu kita sendiri. Semoga momen Ramadhan di manapun kita berada, kita bisa menjaga kualitas ibadah. Syukur-syukur jika kita bisa meningkatkan kualitas ibadah dari hari ke hari. Akhir kata, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Ramadhan kariem Allahu Akrom. (Mahfud)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar