artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Surat untuk Ramadan

Selamat Lebaran.

Surat ini kami tulis atas kesadaran kami bahwa di hari Lebaran, kau termasuk makhluk yang patut kami ucapkan terima kasih dan dimintai maaf sebelum makhluk yang lain.

Kami mengucapkan banyak terimakasih karena telah hadir kembali di antara kami, dan juga telah menyambangi setiap rumah di muka bumi lalu mengajarkan arti kesetaraan sehingga kami bisa merasakan bagaimana hidup seperti mereka yang berada di bawah garis kemapanan atau sulit mendapatkan pekerjaan. Setelah kau mengajari bagaimana rasanya menjadi mereka, kau mengajari kami bagaimana berbuat baik dengan mereka.

Kami benar-benar bahagia atas kehadiranmu. Menyambutmu dengan bahagia lalu menjalankan titah Tuhan selama kehadiranmu adalah suatu kebanggaan bagi kami laiknya kaum Anshor yang menyambut Nabi dan kaum Muhajirin di Yatsrib dengan gubahan syair Sholawat Badarnya. Sebagaimana ada juga sebagian dari kami yang menyambutmu dengan lagu meskipun sekedar embel-embel menarik popularitas band atau menjadikannya sebagai backsound pariwara di televisi.

Banyak sekali perbedaan yang kami rasakan di hari-hari kehadiranmu: semangat menghatamkan Qur’an, sembahyang tarawih, juga berbagi kepada sesama. Kami tidak yakin semangat itu akan timbul di bulan-bulan selainmu.

Sayangnya, banyak dari kami yang lupa untuk meminta maaf padamu di hari Lebaran. Bahkan kepergianmu kadang dikaburkan dengan menyebut hari Lebaran adalah hari kemenangan. Jika menang yang dimaksud di sini adalah menahan makan, minum, dan bersenggama, kami patut merasa menang. Tapi soal amarah?

Ada sebagian dari kami yang rela marah-marah di siang hari, mengobrak-abrik segala sesuatu yang sekiranya mengganggu ibadah puasa seperti satpol PP yang marah-marah, menggerebek, lalu menyita semua barang dagangan bu Saeni dengan dilandasi Perda Banten. Padahal amarah termasuk yang harus ditahan ketika puasa.

Pasti kau sedih mendengar ini dan bertanya-tanya: mengapa ini terjadi ketika kau hadir? Dan apakah berkah dan kemuliaan dari Tuhan yang engkau sajikan kepada kami hanya sebatas basa-basi dan tak berdampak apa-apa pada mereka yang engkau kunjungi?

Suatu ketika kawan kami di Bali menceritakan pengalamannya selama bulan puasa di sana bahwa umat Hindu benar-benar menghormati ibadah puasa umat Muslim. Mereka tidak berani makan di depan umat Muslim yang sedang berpuasa, bahkan ada yang ikut berpuasa. Anak dari kawan saya ini malah sempat berpidato tentang toleransi antarumat di bulan Ramadan.

Kau tahu, umat Muslim di sana begitu menghargai mereka yang beribadah Nyepi. Seperti hubungan timbal balik. Menghormati lalu dihormati. Umat Muslim di Bali tidak membuat kegaduhan, tidak membuka toko, bahkan ada yang tidak keluar rumah dalam sehari demi menghargai mereka yang ngibadah Nyepi.

Menurut kami hari Lebaran adalah saat di mana kami harus benar-benar introspeksi diri, bisakah kami menumbuhkan semangat beribadah setelah kepergianmu sebagaimana semangat beribadah ketika hari kehadiranmu, dan bagaimana caranya agar jangan sampai semangat ini memudar ketika kau pergi.

Selamat hari raya, mohon maaf lahir batin.

Dari kami, yang menunggumu kembali.

Muhammad Firdaus
Pustakawan, pembuat puisi bayaran, pemulung pemean, pedagang unggas, pelawak antiklimaks, pengosek WC, model rokok seram. Pernah menggelandang di ibu kota selama beberapa bulan. Punya semua media sosial kecuali Snapchat. Musik indie sebagai identitas diri. Semarang adalah kelambu jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar