artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Ghiyats yang Datang dan yang Pergi

Kelahiran anak layaknya meraih sebuah trofi. Bagi pemain bola yang kering prestasi dan mengkeret dalam kompetisi, itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Bagi seorang pelatih dalam bidang apapun, kariernya akan terasa purna dan komplet. Setelah daya, tenaga  yang dicurahkan, dan waktu yang dilalui secara konsisten tidak serta-merta membuahkan hasil  sonder campur tangan dari  langit yang pemurah.

Kelahiran seseorang biasanya sering kali dinarasikan berdekatan dengan hari-hari besar atau penting yang menyertai peristiwa tersebut. Atau hari-hari yang sekiranya memaksa seseorang untuk berusaha meresapkan suatu momen di dalam arsip lemari memorinya.

Melalui pendekatan inilah sekiranya kelahiran akan lebih mudah diingat dan dihafal di luar kepala. Ya, walapun akan bernasib seperti layaknya upacara kemerdekaan, sebatas seremonial yang diulang-ulang tiap tahun.

Setelah kami (Misykatian) bertandang ke rumah Ammu Muwafiq dalam rangka tilik bayi, redaktur web tercinta Mz Daus Gripzet sehari berselang menunjuk saya agar menatah peristiwa sakral ini ke dalam web. Apa boleh bikin bung!

Menjadi penting pengabaran ini ditulis karena saya percaya seperti termaktub dalam sebuah buku yang berbunyi “cerita punya kekuatan untuk memantapkan keyakinan”. Di sisi lain, cerita juga dapat membuat orang meragukan berbagai hal. Tak jadi soal anda sekalian di pihak mana. Silakan pilih opsi yang pertama atau jatuhkan kehendak pada opsi yang kedua, karena tulisan akan menemui pembacanya di mana saja.

OOO

Kabar gembira berpendar dari pasangan suami-istri Moh. Muwafiq Azifulloh dan Ummu Hani setelah buah hatinya pecah tangis di awal perjumpaan dengan oksigen bumi. Anugerah yang tak terhingga ini hadir saat ekonomi negeri yang katanya “Ummu Dunya” mulai lesu dan resesi. Ditandai dengan menghilangnya peredaran gula di pasaran. Melemahnya harga pound di hadapan mata uang dolar. Berjarak empat hari dari peringatan Hari Santri, yang asal-usul dan cikal-bakalnya dari sebuah deklarasi yang dinamakan Revolusi Jihad. Serta dua hari jelang orang-orang berkerumun, berfestival, berjejal di lingkaran merayakan Hari Sumpah Pemuda di manapun berada.

Atau untuk segmen tertentu bisa dibaca melalui skena sepakbola Britannia. Jabang bayi ini lahir di dunia tiga hari sebelum pemain termahal dunia 2016 dan kawan-kawan tidak digdaya menghadapi gerombolan bocah-bocah London berseragam biru. Mereka bermain secara meyakinkan untuk kemudian diparut di lini belakang, diobok-obok pada lini tengah, dan seolah digulung badai taifun di Stamford Bridge. Dengan pilihan pemain dan taktik yang diturunkan, Jose Mourinho sepertinya secara sengaja menyemburkan dan menyemprotkan gas air mata pada kesebelasannya sendiri.

Ghiyats Muhammad Abdul Halim. Begitulah nama yang disandang bayi tersebut. Setelah diselidiki, nama “Muhammad Abdul Halim” ternyata dipetik dari  nama sang kakek. Sedangkan nama “Ghiyats” diberikan langsung oleh orang tuanya. Untuk arti dan filosofinya lebih baik bertanya langsung kepada yang bertautan.

Laiknya sebuah biji yang disebar dan ditandur, semoga akan berubah untuk disemai menjadi api. Merekah, merekah dan berkah.
 
Ghiyats dibopong calon mamah muda.

Namun, diam-diam ada yang menyelinap dan bergelayutan dalam tubuh. Sesuatu yang melantas masuk ke akal lalu berproses menuju raga kemudian menyuruk ke batin. Saya teringat dengan nama yang sama tapi dengan rupa dan bentuk jasmani yang lain. Seorang yang telah mati. Mati muda.

Saya tidak tahu apakah berita meninggalnya menggegerkan Masisir kala itu. Tapi yang jelas saya belum pernah bertatap-muka apalagi sampai berkenalan. Saya hanya sebatas tahu dan apesnya, itu dari teknologi yang bernama internet.

Anak itu juga bernama Ghiyats. Lingkaran pertemanannya sering memanggil almarhum dengan tambahan “Gus” di awal pelafalan. Redaktur kami, Mz Daus Gripzet kebetulan pernah seruangan waktu sekolah dulu. Karena sekelas dengannya, tentu saja saya  jadi tahu mendiang adalah dari kalangan terbaik di angkatannya. Dan lagi, saya memperoleh kesaksian dari mas berkumis yang satu  itu bahwasanya mendiang orangnya gampang tahan alias pendiam dan beralam lapang. Tidak neko-neko. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Berbeda halnya jika ditilik dari beranda FB. Mendiang seringkali mengunggah dan mencurahkan segenap kegelisahan dan pemikirannya. Kalau status-status tersebut dibaca rasanya akan terasa relevan sampai sekarang. Malahan mungkin sampai selamanya. Silakan tengok sendiri pada akun ”Achmad Ghiyats” yang mulai tahun kemarin telah berubah menjadi kuburan digital.

Dilambari atas ketidakberuntungan di atas, ijinkan saya berimajinasi tentang sosoknya. Mendiang adalah  seorang kutu buku yang memikirkan nasib umat seperti Soe Hok Gie yang mati-matian menginginkan keadilan pada bangsanya. Yang kritis terhadap masalah seputar keagamaan serupa Ahmad Wahib, seorang yang getol mempertanyakan dirinya dan polemik-polemik yang terjadi di sekitarnya. Adalah seorang yang laku hidupnya hanya untuk  mengembara, berikhtiar, dan mencari ilmu sebagaimana Imam as-Syafii yang menimba ilmu dari satu tempat ke tempat yang lain. Mendiang adalah gabungan berbagai karakter. Semoga saya tidak salah menuliskannya.
OOO
    


Bukanlah masa depan yang hilang dari kematian tapi masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran mendiang. Begitu kata Milan Kundera. Parafrase ini menarik karena ia tidak berbicara tentang arti kematian itu sendiri. Ia ingin bilang bahwa kita, orang-orang yang ditinggalkan itulah yang merasa kesepian. Merasakan beratnya ditinggalkan.

Berbeda halnya dengan pesan sufi masyhur cum sekaliber Maulana Jalaluddin Rumi, “Jangan menangis / Aduhai kenapa pergi! / Dalam pemakamanku. / Bagiku, inilah pertemuan yang bahagia”. Dalam pesan tersebut tersurat bahwa orang-orang tidak boleh menangisi kepergian mereka yang dicintai. Selain itu syair di atas mengisyaratkan arti kematian. Beliau ingin berkata, kematian bukan kematian. Bukan sekedar pindah atau meninggalkan tempat saja menuju tempat lain. Inilah pertemuan dengan Sang Pencipta.

Maka ketika kelahiran dihadirkan secara suka cita, kematian (seharusnya) diwujudkan dengan suka cita pula meskipun kita tahu kelahiran dan kematian itu sama. Sama-sama manusiawinya. Idealisme tersebut agaknya muskil untuk dijalankan dan berat untuk dilaksanakan.

Dalam tulisan ini bukan sebuah kebetulan saya menyandingkan keduanya yang bernama sama yaitu Ghiyats. Tak lain (saya berdoa) semoga sifat-sifat baik yang menempel pada almarhum Ghiyats merembes dan melumer kepada Ghiyats-Ghiyats yang lain. Salah satunya kepada Ghiyats ini, yang lahirnya diselimuti dan dilingkupi hari-hari seremonial kebangsaan. Sebab orang baik sudah sepatutnya ada dan terus ada, berpusing-pusing, dan bereproduksi walau tidak disorot lampu media dan dihujani blitz kamera.

Yang terjadi maka terjadilah.

Al-Fatihah!


Ayatullah El Haqqi
Pemuda ini lahir di daerah penghasil tembakau, tetapi tidak suka merokok. Kali pertama datang ke Mesir diajak ludrukan dan dibaiat dengan nama “Supri” di lapangan futsal. Kata teman-teman ia sangat pendiam. Hafal Pancasila dan tepuk pramuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar