artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Sarapan Bareng Habiburrahman el-Shirazy

Sabtu kemarin (26/11), Misykati kedatangan tamu spesial, Habiburraman el-Shirazy atau yang kerap disapa Kang Abik, yang menyempatkan diri untuk mengunjungi sekretariat Misykati. Kehadiran beliau di Mesir sebetulnya tidak diundang oleh Misykati—tentu saja, melainkan dalam rangka mengisi acara FFI[1] (Festival Film Indonesia) selama lima hari sejak 21-25 November.

Sebelum tiba di sekretariat Misykati, para Misykatian sudah mempersiapkan segala hal untuk menyambut kedatangan beliau. Mulai dari tata ruang sampai menu hidangan, semua sudah dipersiapkan secara matang. Bang Irung yang sudah semenjak pagi buta berada di Griya Jateng—hotel berbintang tempat Kang Abik menginap, memberikan kode satu pada pukul 09.50 CLT, yang artinya dalam durasi 10 menit beliau akan tiba di Sekretariat Misykati. Benar saja. Tepat pukul sepuluh pagi, beliau membuka pintu taksi yang ditumpanginya di pelataran sekretariat. Didampingi Kakanda Islah.

Di beranda sekretariat, Aini Gripzet yang mengenakan Long Dress berwarna pink telah menunggu kedatangan Kang Abik. Dengan mata berbinar melihat wajah teduh Kang Abik di dalam taksi putih bernopol 0896 SMG, ia bergegas masuk dan berteriak “Kang Abik sudah sampai, Cuy!”

Kehadiran beliau ternyata membuat suasana sekretariat pagi itu menjadi lebih hangat dan romantis. Semua Misykatian secara bergantian memberikan salam sembari menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan beliau—tapi tidak meminta swafoto. Nuansa kekeluargaan pagi itu juga terasa begitu kental, sekental susu Bendera hingga mengingatkan kembali manisnya persaudaraan kita—saya, Kang Abik, dan para Misykatian—yang terlahir dari  rahim MAPK MAN 1 Surakarta.

Selesai berbasa-basi, Ustad Luthfi yang kala itu menjadi moderator membuka percakapan. Dimulai dari Supri, selaku ketua Misykati, dalam kulaimatnya blio mengucapakan terimakasih kepada Kang Abik yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah jadwal padatnya untuk menyempatkan diri berkumpul dengan adik-adik Misykati. Sesudah itu Ustadz Luthfi mempersilakan Kang Abik untuk menyampaikan wejangannya kepada para hadirin sekalian.

“Saya semestinya ikut rombongan untuk meninggalkan Hay Asher menuju KBRI, kemudian ke Ashfour. Namun jika sudah sampai di sini dan belum bertemu dengan adik-adik kelas rasanya kurang nikmat,” tutur beliau mengawali sambutannya disambut tawa renyah para Misykatian.

Kang Abik mengawali pembicaraan dengan bercerita mengenai sejarah alumni MAPK yang melanjutkan studinya ke Azhar dan awal mula terciptanya nama ‘Misykati‘. Jika diruntut, maka angkatan pertama kali Misykati yang datang ke Mesir bernama Mustofa Budiman—alumni 94. Saat itu beliau hanya seorang diri dan berangkat bersama rombongan at-Taqwa, Bekasi. Kemudian disusul  pada tahun 95, angkatan kedua Misykati yang beanggotakan Kang Abik bersama teman seangkatannya, sekitar 14 orang.

Beliau bersama rombongannya berangkat dari tanah air menuju Kairo dengan modal nekat. Karena sebetulnya dari 14 orang yang mengikuti tes seleksi ke timur tengah tidak ada satu pun yang lolos. Alhasil mereka harus berangkat dengan bekal uang saku seadanya, ini nekatnya. Setibanya di Kairo, mereka dipisah menjadi dua bagian; bagian pertama tinggal di Bawwabah Tsalisah—tempat tinggal Kang Abik—dan bagian kedua bertempat di Masakin Utsman, tempat tinggal penulis saat ini.

Selama setahun pertama menjalani hidup di bumi Kinanah, mereka hidup prihatin. Untuk berangkat kuliah misalnya, Kang Abik dan rekannya harus selalu bergantian ngampus demi menghemat biaya. Bahkan beliau sempat berjualan telur asin untuk menambah uang saku. Baru pada tahun kedua, ujian hidup mulai terasa ringan karena telah mendapatkan beasiswa sebesar 100 USD per bulan—yang  pada saat itu bernilai di kisaran 350 EGP.  

Dalam keseharianya menjalani dinamika kehidupan di Kairo, beliau dan teman seangkatannya berinisiatif mengadakan kegiatan yang sekiranya dapat mengumpulkan seluruh anggota Misykati. Akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan kajian rutinan per pekan. Setelah satu tahun kajian berjalan dan makalah sudah terkumpul banyak, mereka merasa perlu untuk membuat sebuah nama dari kajian tersebut. Berangkat dari musyawarah dan kesepakatan bersama akhirnya tecetuslah nama MISYKATI—sebuah nama dari al-Quran yang berarti lentera. Lentera yang sanggup menerangi para pejalan dalam kegelapan. Sebuah nama yang juga merupakan antitesis dari para pelajar yang ‘agak’ liberal, katanya.

Setelah nama terbentuk, barulah mencari kepanjangan yang pas dari kata “Misykati” itu sendiri. Kun fa yakun. Jadilah Majelis Intensif Yurispundensi dan Kajian Pengetahuan Islam. Meskipun kepanjangan dari nama itu menuai banyak kritikan—kata Ustad Luthfi, tetapi beliau menegaskan bahwa itu merupakan ijtihad para pendahulu Misykati.

“Sudah, diterima saja, itu merupakan ijtihad assabiqunal awwalunnya Misykati.” Dengan nada meyakinkan beliau mengatakan demikian. Dan tertawalah para hadirin dengan bangga, bak mendapat pembelaan.

Usai bernostalgia dengan masa mudanya, selanjutnya beliau mengingat sekaligus mengingatkan dedek-dedek bahwa bisa kuliah di Azhar adalah sebuah keberkahan.  Bagaimana tidak, ini bukan masalah sistem perkuliahan yang dimiliki oleh Azhar, tetapi mengenai nasab ilmu yang bisa didapat darinya. Kalau berada di Azhar, nasab ilmu yang kita miliki jelas—menyambung dari satu ulama ke ulama lain hingga berujung pada Rasulullah SAW. Sehingga  kualitas ilmu yang kita peroleh dapat   dipertanggungjawabkan.

“Saya alhamdulillah sudah banyak mengisi seminar di berbagai universitas di belahan dunia. Namun jika saya kembali lagi pada masa muda dan dihadapkan kepada banyak pilihan universitas, maka dengan tegas saya akan tetap memilih al-Azhar.‘’

Di akhir pembicaraannya, beliau mulai menyinggung akan problematika yang terjadi pada umat Islam dewasa ini, khususnya umat Islam yang berada di Indonesia. Beliau mengungapkan bahwa kondisi umat Islam sedang berada di persimpangan jalan. Umat Islam membutuhkan yang namanya “jisr ummah” (jembatan umat). Jembatan yang mampu mempersatukan umat. Meskipun kita tahu bahwa tak mudah ketika menjadi jembatan itu sendiri: harus rela untuk dipijak, dilindas, terkadang diguncang-guncang oleh orang melewatinya. Namun sepedih apapun menjadi sebuah jembatan ia tak pernah marah, apalagi balas dendam kepada yang telah melewatinya.

Eksistensi umat sekarang ini layaknya berada di dua kubu; sebagian berada pada satu jurang dan sebagian yang lainnya berada pada jurang lainnya. Mereka hidup berdampingan namun sama sekali  tidak ada interaksi  dan komunikasi secara intens. Sehingga timbul cara pandang kompleks yang melihat dari kacamata hitam dan putih saja, dan menilai dengan sudut pandang benar atau salah saja. Monokrom.

Dampaknya, mereka akan mengganggap benar apa yang menjadi sebuah keyakinan mereka dan menganggap salah umat lain yang tidak sejalan dengannya. Maka solusinya adalah terciptannya sebuah generasi yang mampu menjadi jembatan tadi. Sebuah generasi yang mampu menerapkan nilai ayat al-Quran wa’tashimu bihablillah.  Beliau mengingatkan kembali akan manhaj wasatiyah yang menjadi ciri khas Azhar. Mengajarkan kepada kita agar kembali berlaku moderat sejak dalam pikiran. Tidak membenarkan semua hal dan tidak pula menganggap salah segalanya.

Setengah jam sudah beliau meyampaikan hal-hal di atas. Para hadirin memperhatikan dengan sangat, sampai tak sempat untuk bertepuk tangan di sela-sela kalam beliau. Bahkan ketika Kang Abik menyampaikan sesuatu yang sebetulnya cukup memotivasi. Mungkin sebab beliau belum mengucapkan “itu”-nya Mario Teguh.   


Foto bersama Kang Abik.

Acara kemudian ditutup dengan doa, terkhusus untuk para Misykatian yang sebentar lagi akan menghadapi ujian termin satu.  Agenda foto bersama dilanjutkan sarapan dengan menu nasi uduk pesanan Mas Ucup seolah menjadi rukun yang tidak bisa ditinggalkan.


[1] Festival yang diadakan atas kerjasama KEMENDIKBUD RI, KBRI Kairo dan PPMI Mesir. Dalam rangka mempromosikan film Indonesia di Mesir. Perhelatan ini juga mengundang pejabat dan pelajar Mesir yang belajar bahasa Indonesia.

Amna Mushofa
Jomblo jumpalitan, pengamat lampu jalan dan kemacetan, pemuja sepak bola #halamanrumah, penggemar drama percintaan masisir. Mata dan rambut segendang-sepenarian dengan aktor Descendants of Sun dan mengaku mirip dengannya. Hidup yang nomaden membuatnya sulit untuk diidentifikasi lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar