artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Kajian Fakultatif Selasanan; Urf dan Istishab

Selepas azan Maghrib Selasa kemarin (8/11/2016) aula sekretariat Misykati masih lengang meski sudah tertata dan karpet telah disapu bersih. Pulsa gawai semakin berkurang sebab menghubungi para anggota yang berada di luar sekretariat Misykati, yang beberapa darinya tidak dapat dihubungi.

Hanya satu anggota Misykati—luar sekretariat—yang datang sebelum Maghrib. Namun kedatangannya—yang kala itu masih dalam proses penataan dan pembersihan aula sekretariat—tidak memberi kontribusi apapun. Meski begitu kedatangannya sebelum waktu kajian yang ditentukan bisa menjadi suntikan semangat supaya kajian tidak mundur sampai berjam-jam.

Nizar, moderator kajian kali ini, yang sedari tadi mempersiapkan dirinya dengan membaca dua makalah—dari dua presentator—yang akan disampaikan sempat bertanya-tanya tentang kelangsungan kajian. Apakah kajian ini benar-benar akan dilaksanakan atau tidak. Jika tidak, ia akan kembali ke misi asalnya; membuat Leicester City menang di Liga Inggris dengan stik PS kesayangannya.

Setelah proses menunggu yang lumayan lama, akhirnya setelah salat Isya lebih dari 10 anggota telah hadir, termasuk Silma, presentator kajian. Namun begitu hadirin masih menunggu satu presentator lagi yang terjebak macet di Gamik Salam.

Dengan dimoderatori Nizar, kajian ini dimulai pukul 19.05. Gambaran umum makalah telah di-basa-basi-kan oleh Nizar selama lima menit dan dilanjutkan presentasi Silma tentang istishab. Dengan pemaparan yang membingungkan—kata wakil ketua Misykati—, suara yang begitu aduhai, dan pembahasan menyeluruh pada isi makalah, Silma menerangkan tentang pengertian istishab. Istishab secara bahasa berarti menemani dan selalu bersama. Sedangkan secara istilah, istishab—menurut Ushuliyyin—berarti hukum atas sesuatu pada keadaan sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu. Singkatnya, meghukumi sesuatu dengan hukum asal selama tidak ada nas yang menentang atau merubahnya.

Kemudian Silma menyebutkan lima mabadi’ syar’iyyah yang berlandaskan istishab dan contoh pada setiap dalil. Menurut Ushuliyyin istishab adalah akhir cara berfatwa. Silma juga menerangkan perbedaan pendapat antara ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah tentang kehujahan istishab, “tentang kasus orang hilang yang berhubungan dengan warisan, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa ia tetap mendapat warisan, karena ia hilang dalam keadaan hidup dan belum ada kabar kematiannya. Karena ia hilang dalam keadaan hidup, maka hartanya belum boleh diwariskan. Namun ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya,” paparnya.

Setelah pemaparan Silma menghabiskan waktu 12 menit, Aini—bagian Pendidikan—memberi isyarat dengan kedipan mata dan gerakan bibir kepada moderator, yang bisa dibaca begini; nampung pertanyaan dulu buat Silma biar bisa menyiapkan jawaban selama presentasi kedua berlangsung.

Sesi pertanyaan dibuka, namun hanya Ucup yang mengangkat tangan dan menanyakan tentang gambaran umum makalah yang disampaikan. Dia meminta kepada presentator untuk memberi jawaban langsung karena ia mungkin belum begitu paham dengan apa yang disampaikan.

Setelah jawaban diutarakan oleh Silma, tak ada lagi tangan yang diangkat, malah suara-suara “lanjut saja” bermunculan satu persatu.

Akhirnya kajian dilanjutkan dengan presentasi dari dul-Wahab. Dengan roman muka yang dipolos-poloskan, Wahab memulai presentasi dengan prolog dan dilanjutkan dengan definisi.

Menurut pemaparannya, pengertian Urf secara umum berarti hal-hal yang sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat. Hal-hal ini bisa berbentuk perbuatan maupun perkataan. Kata Urf ini sama artinya dengan adat; kebiasaan yang dikenal di masyarakat. Pembagian Urf dari tiga segi juga disebutkan, dilanjutkan perbedaan Urf dengan Ijma, “ijma itu membutuhkan kesepakatan dari ulama-ulama, beda halnya dengan Urf yang tidak memerlukan kesepakatan. Selama Urf itu baik dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, ia akan menjadi hujah.”

Makalah tentang Urf rampung dibahas selama 20 menit. Para hadirin segera menghadap makalah masing-masing dan mencari bermacam pertanyaan untuk diajukan kepada kedua pemakalah. Seperti biasa moderator menampung tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama datang dari Binti tentang keragu-raguan dalam wudhu, apakah ketika kita diserang keraguan sudah berwudhu atau belum, bisa dikembalikan ke hukum asal?

Dimulai dengan pertanyaan Binti, tiga pertanyaan tertampung dan dijawab oleh pemakalah. Begitu seterusnya. Namun di tengah-tengah sesi pertanyaan, teteh Neli dan Muadzah meninggalkan aula karena tidak berani melompati pagar asramanya. Konsentrasi Furqon yang sedari tadi begitu tinggi kini mulai memudar setelah ditinggal pulang teteh. Apalagi Pandu.

Kritik datang dari Amna tentang penguasaan materi pemakalah yang kurang, sehingga pemaparannya tidak utuh dan jawaban-jawaban yang diberikan tidak komprehensif. Amna juga mengkritik soal makalah yang seharusnya sudah siap dua hari sebelum hari-H, terundur hingga hari-H kajian. Akibatnya hadirin baru mulai “berpikir” tentang Urf dan Istishab pada sore itu. Namun jika makalah telah siap sesuai tenggat yang ditentukan, tentu pembaca sudah memiliki gambaran mengenai isi makalah sebelum kajian dimulai, sehingga pada sesi pertanyaan maupun tanggapan tidak banyak yang diam karena tidak memahami persoalan.

Merasa tidak menerima sepenuhnya kritik dari Amna, Wahab menyampaikan bahwa kajian Selasanan juga merupakan forum tukar pendapat, ada semacam timbal balik antara pemateri dan hadirin. Karenanya tidak arif jika ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab kemudian melemparkan kesalahan kepada pemateri dengan dalih tidak menguasai materi.

Sebelum perdebatan antara Amna dan Wahab semakin sengit, dan setelah bartender seksi memberi kode satu–yang berarti hidangan sudah siap, moderator langsung mengakhiri kajian agar tidak terjadi kericuhan seperti demo 411 kemarin Jumat.

Muhammad Firdaus
Pustakawan, pembuat puisi bayaran, model rokok seram. Pernah menggelandang di ibu kota selama beberapa bulan. Punya semua media sosial kecuali Snapchat. Musik indie sebagai identitas diri. Semarang adalah kelambu jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar