artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Menjamu Tamu Yang Tak Niat Bertamu



Minggu pagi, seorang teman fesbuk mengunggah foto gedung bertuliskan “tahya misr”. Tidak waw memang, karena banyak orang berbagi status dengan gambar yang lebih nyentrik.

Cuman, melihat itu aku berhenti menggulirkan laman ke atas. Jempol kuangkat dari layar samsung jadulku, lalu fotonya kutatap serius selama lima detik, mencoba menebak di mana ia dijepret. Lebih penting dari itu adalah pertanyaan yang menggelinding dan melintas di kepala, di mana sang pemilik akun berada: apa benar di Kairo, atau sekadar turut merayakan lolosnya Mesir ke Piala Dunia.

Kolom komentar memberi jawaban. Mba-mba bernama Syarifah Sri bertanya “dah nyampe Mesir, to, Yus?”

Selang satu menit terjawab “alhamdulillah sudah.” Dari situ aku mulai menyimpulkan. Ternyata ustad yang dulu pernah sezaman di asrama putra ini memang di Kairo.

Tapi aku masih tak yakin.

Pikirku, mana mungkin ada alumni MAPK jauh-jauh ke sini tanpa memberi kabar. Ustad Luthfi—yang dicurigai sebagai teman sekasurnya sekamarnya—juga tidak memberi kabar apapun kepada ketua Misykati.

Sepengetahuan kami, siapapun alumninya, sebelum mereka meninggalkan Soetta setidaknya di koridor sekretariat sudah ada obrolan bertopik “mas ini mau ke sini dalam rangka ini.” Kali ini tidak. 

Ragu untuk mengomentari foto itu, sempat terbesit untuk bertanya saja kepada kawanku yang rajin stalking: Supri. Dalam situasi ini mungkin dia sudah punya jawaban, bahkan sebelum ada yang menanyakan.

Tapi setelah berpikir ulang, nampaknya tak perlu bertanya pada Supri. Walau sungkan berkomentar sebab bayang-bayang ke-ustad-an-nya, akan lebih efektif jika kutanyakan langsung padanya. Aku pun memberanikan diri mengetik “loh, di Mesir, Pak Ustad?”

Komentar tak langsung dijawab pada menit berikutnya. Bahkan masih tidak pula pada jam berikutnya. Tak seperti Mba Sri, yang dibalas selang satu menit saja. Tapi beginilah nasib pria bertanya pada pria. Jarang yang fast respon—kecuali ada indikasi m**o.

Dua jam kemudian baru muncul pemberitahuan. Kata Fesbuk, yang bersangkutan telah membalas komentar. Bunyinya “iya lagi di Kairo.” Hanya itu. Tak ada emot, apalagi stiker minion.

Padahal pertanyaan yang kulontarkan tak sekadar butuh jawaban “yes/no”. Melainkan juga butuh semacam penjelasan bagaimana pemilik akun Yusuf Ali bisa di Mesir, sedangkan satu pun dari Misykatian tak mendapat kabar.

Tanpa kabar, bisa jadi dedek-dedek Misykati tak bertemu dengan kakaknya yang masih bujang ini. Kan, sayang. Sekelas orang yang tiap tahun bolak-balik tujuh negara, pastinya punya pengalaman kerja yang berguna, terutama bagi dedek yang datang tahun ini. Mungkin sosoknya bisa dijadikan teladan oleh mereka.

Beberapa saat setelah membalas komentar, blio mengirim pesan. Kami bercakap-cakap barang beberapa pertanyaan dan jawaban. Sadar bahwa blio ini ke Mesir untuk suatu urusan, dan sama sekali (ternyata) tak peka untuk menanyakan dedek-dedek alumni, jadi aku yang mengajak ketemuan. Beruntung, responnya langsung “ayook ketemuan di mana.”

***

Meja lesehan telah tertata rapi di ujung aula. Di atasnya ada anggur dan sekotak jus jeruk. Semua sengaja disediakan untuk menyambut alumni angkatan 2004 ini.

Namun blio menolak berada di belakang meja itu dan memilih tetap di tempat duduknya yang pertama. Sungguh merupakan sikap yang tak sadar umur. Sok muda. Padahal generasinya terpaut jauh dengan generasi para dedek 2017. 

Diambil dari kamera Xiaomi

Dari kulit wajahnya yang kencang dan tak adanya kerutan, orang memang tak akan berpikir kalau manajer resort ini sudah menginjak kepala tiga. Sudah saatnya backpackeran bersama si doi. Bukan sama laki-laki brewok asal India.

Entah apa yang blio tunggu, sepertinya ada sesuatu yang hendak dikejar, sebelum mulai menghapal nama wanita beserta nama bapak dan kakeknya. Tapi itu bukan urusan kita.

Bagi kita, yang terpenting adalah bisa melayani tamu dengan layak. Walau dua jam, kita harap itu cukup untuk menyatakan bahwa Misykati memang sebuah keluarga.


Furqon Khoiruddin
Laki-laki berperawakan tinggi dan sarat akan jiwa-jiwa korsa. Beberapa aksinya tak lepas dari Moge; Motor Toge*. Reporter lepas, dan sering nongol di beberapa perkumpulan mahasiswa. Buku-buku politik dan catatan lapangan menjadi kesehariannya. Kalau soal wanita gak usah ditanya, dia punya cabang di mana-mana. *motor gede

Tidak ada komentar:

Posting Komentar