artikel

[Artikel][threecolumns]

ruparupa

[RupaRupa][grids]

lontar

[Lontar][twocolumns]

Tanta; Mudik dan Ziarah ke Desa



Saya sebut mudik saja. Bagi saya mudik bukan hanya sekedar pulang ke kampung halaman, namun sebenarnya ia lebih romantis dari itu: pulang ke orang tua atau sesepuh. Tapi kalau Anda mau menyebutnya open house atau silaturahim, terserah.

Tanta adalah daerah paling jauh yang ditempati sesepuh kami, Amu Sugeng sekeluarga. Ia bukan tujuan yang bisa dibilang dekat jika setiap hari Anda hanya umyik di daerah Kairo, apalagi lebaran yang bertepatan dengan musim panas kemungkinan besar akan membuat anda malas keluar rumah. Tapi coba bayangkan suasana ini: sawah dan ladang di kiri-kanan jalan, suara kerbau dan cemetinya, hingga bau jerami. Benar-benar suasana pedesaan. Pergilah ke sana jika Anda terlalu jenuh dengan kegiatan di Kairo meskipun Anda tidak bisa seenaknya memetik buah-buahan atau mencuri jagung atau ketela dan membakarnya di pinggir sungai.

MakamSidi Dasuqy dan Sidi Badawi terletak tidak jauh dari sana. Jarang-jarang juga kami berziarah sejauh ke Tanta. Namun, kawan-kawan saya memutuskan untuk ziarah terlebih dahulu sebelum menuju kediaman sehingga kami harus menaiki transportasi yang tidak lebih cepat dari kereta api. Kata pemimpin rombongan kami—kita sebut saja sang Sufi—memang tidak ada kereta api yang langsung menuju ke sana. Bisa saja oper, namun harus jalan lumayan jauh.

Dengan Ramses sebagai titik kumpul, kami—yang tidak berhalangan—berangkat menuju masjid Sidi Ibrahim ad-Dasuqy, Kafr as-Syaikh. Menurut googlemap, masjid Sidi Ibrahim lebih jauh hampir setengah jarak Ramses-Tanta. Kombinasi jarak, panas matahari pukul sebelas siang, dan posisi duduk yang berdesakan benar-benar mampu membuat kawan saya, Abu Umar, menenggak dua botol besar air putih dalam setengah jam, berkeringat banyak setara dua botol besar air putih, lalu minum lagi, berkeringat lagi, dan seterusnya. Dengan suhu sekitar 40 atau malah 40 derajat lebih, tremco memang lebih pantas disebut sauna.

Bagi kami suhu sepanas itu tidak jadi masalah. Guyonan dan perjalanan jauh yang serasa tamasya membuat panas matahari hanya seperti salah satu dari banyak sekali rintangan di benteng Takeshi. Setelah lumayan lama kami duduk di tremco, sang Sufi dicecar banyak pertanyaan tentang berapa lagi jarak yang harus ditempuh. Mungkin kawan-kawan saya juga merasakan hal yang saya rasakan: “kok ra tekan-tekan sih?”. Namun jawaban yang selalu berbentuk waktu—satu atau dua jam lagi—membuat kami mendadak lemas karena pantat yang sudah panas akan menjadi lebih terbakar. Ditambah celetukan Nikmah Ziyadah, “Jangan nunggu pakai jam penantian, nanti lama,” sontak membuat beberapa penumpang tertawa. Saya tegaskan, beberapa saja. Gara-gara guyonannya, saya malah merasa pantat saya sudah menjadi brutu bakar yang kematangannya sempurna karena dibakar dengan panas yang stabil.

Udara masjid Sidi Dasuqy yang sangat sejuk benar-benar membayar lelah kami. Pantatku serasa kembali muda. Kami jadi lebih bisa menghayati doa-doa yang kami rapal dan menikmati sajian biografi singkat dengan santai. Saya heran kenapa masjid-masjid selalu sejuk. Dan mungkin kawan-kawan saya juga berpikir begitu.

Karena kami sudah bosan menenteng menu makan siang dan menelan ludah berulang-ulang sejak awal perjalanan, setelah salat Asar, kami nongkrong di taman mungil pelataran masjid. Lontong plastik dan ayam goreng bikinan ketua Misykati—yang sejak perjalanan ini dimulai beliau sering dipanggil “Idoy”—serasa diolah dengan kandungan kasih sayang yang melimpah. Saya menjadi yakin bahwa Idoy benar-benar mempunyai aura mengayomi dan menyayangi, dan mungkin saat akhirnya Misykati mencari ketua baru tahun ini, beliau bisa menjadi kandidat yang paling kuat. Saya siap jadi timses.

Setelah makan, kami sepakat mampir ke taman seberang komplek masjid. Lokasinya yang berada di tepian anak sungai Nil membuat kami merasa ingin segera berenang, apalagi ketika beberapa anak lelaki terlihat mandi di pinggiran sungai. Anak-anak ini sukses menarik perhatian anggota perempuan kami, karena mungkin pria yang berenang terlihat begitu seksi.

Kumis dan rambut Bangirung yang tergerai membuat beberapa perempuan Mesir tergoda untuk mengikuti kami. Bahkan ketika kami duduk bersama pun, mereka berdiri dan memandangi seolah kami adalah salah satu dari berbagai macam hal di dunia yang jarang sekali mereka temui. Jika dibandingkan dengan keadaan di Kairo, mahasiswa Indonesia memang sudah biasa berkeliaran. Saya yakin Anda akan merasa seperti turis jika pergi ke luar Kairo.

Dan selanjutnya, kantuk mulai menyerang dan kursi tremco mengistirahatkan tubuh kami selama 1 jam perjalanan.

Berhentinya roda tremco dan sinar matahari yang mulai redup membangunkan kami. Amu Sugeng dan bala tentaranya, Nabigh dan Naira, menunggu kami di seberang jalan. Saat berjalan dari terminal ke kediaman beliau, kami bertemu rombongan kerbau. Kerbau asli. Abu Umar ternganga. Ia hampir salah ikut rombongan.

Lagi-lagi lelah kami terkikis, dan kali ini karena rawon buatan Amah Fida yang begitu menggelitik lidah. Perbincangan-perbincangan dan pertanyaan seputar Tanta menjadi hidangan penutup yang tak kalah seru. Tak lama kemudian disusul Ijah dan Lala, murid program daurah sebulan di Alexandria. Karena Bibong yang sedari tadi saya perhatikan begitu menahan rasa rindu akhirnya ikut menjemput mereka di stasiun.

Lahan istirahat dan tidur anggota laki-laki yang berada di lantai atas, bertepatan dengan kantor DPD PPMI, sepertinya membuat Darmono sedikit kecewa sebab tidak berada dalam satu ruangan yang sama dengan para gadis. Nabigh yang sedari tadi begitu riang masih saja bercerita ke sana ke mari. Tak ada lelahnya. Berbagai macam musik mulai disetel, dari Jaran Goyang-nya Nela Kharisma sampai Dia-nya Anji Drive.

Malam itu, bagi kami, tidur menjadi puncak kenikmatan perjalanan.

—OOO—
Udara desa yang sejuk. Teh diseduh dan tembakau disulut berulang-ulang. Nela Kharisma belum lelah menyanyi. Beberapa pasang mata masih terpejam. Hangat aroma masakan tercium. Perbincangan-perbincangan lucu yang menimbulkan suara ketawa dari lantai bawah terdengar lamat-lamat.

Aroma masakan yang semakin kuat menjadi lonceng penanda sarapan. Oseng-oseng tempe dan kacang panjang serasa ayam bakar bagi perut-perut lapar. Segera setelah sarapan berakhir, kami melanjutkan obrolan. Beberapa wejangan dari Amu Sugeng membuat kami harus memasang telinga baik-baik, apalagi ketika beliau memberi nasehat untuk fokus belajar dan mengurangi jatah bermain gawai. Sebenarnya gawai sangat mempermudah akses komunikasi dan informasi, namun jika kemudahan itu malah menenggelamkan Anda pada hal-hal atau chat yang tidak begitu penting secara berlebihan, gawai akan menjelma kokain atau barang-barang adiktif lainnya. Perlahan-lahan membunuh waktu, dan hari menjadi sia-sia.

Setelah mengucapkan terimakasih, kami menuju makam Sidi Badawi, ditemani Amu Sugeng sekeluarga. Kami bertarung lagi dengan panas matahari, tapi lokasi yang tidak terlalu jauh dari kediaman dan lebih dekat dengan stasiun kereta membuat perjalanan kami siang itu tidak terlalu menguras keringat. Doa-doa dan biografi singkat yang dipaparkan oleh Amu Sugeng menjadi akhir perjalanan mudik kami. Dan tak lupa sesi foto, entah bersama atau swafoto.
Mantan imam masjid Mathoriyyah berfoto di depan masjid Imam Badawi

Masjid Sidi Badawi menjadi tempat perpisahan kami dengan Amu Sugeng sekeluarga. Ucapan terimakasih masih saja terucap. Nabigh mungkin merasa sedih karena hari itu kakak-kakak tidak lagi menemani tidur dan mendengarkan cerita-cerita panjangnya.

Perpisahan ternyata juga terjadi di stasiun, di mana dua anggota perempuan kami kembali ke Alexandria, ditemani dua anggota kami yang lain—untuk memastikan keselamatan mereka berdua. Siang itu, kereta yang biasa disebut kereta kambing mengantarkan kami. Meski angin panas masih menggigiti kulit kami, setidaknya kereta api lebih cepat dari tremco dan tidak terlalu memikirkan nasib pantat kami.

Perjalanan mudik dan ziarah yang panjang ini menjadi awal di mana Bangirung menyukai lagu-lagu Nela Kharisma dan menyetelnya berulang-ulang. Jangan heran jika anda memintanya rekues lagu, dia akan selalu menjawab “Jaran Goyang”.

Muhammad Firdaus
Pustakawan, pembuat puisi bayaran, model rokok seram. Pernah menggelandang di ibu kota selama beberapa bulan. Punya semua media sosial kecuali Snapchat. Musik indie sebagai identitas diri. Semarang adalah kelambu jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar